Dua minggu terlewati sudah, namun, gejala Covid-19 masih tetap dirasakan oleh suami sampai pada saat itu, malah ditambah rasa sesak di dada dan suara yang hampir tidak terdengar dari suami saya. Saya sangat sedih waktu itu, walaupun Alhamdulillah saya sendiri tidak merasakan gejala apapun. Pada hari Rabu pagi itu pun, sekolah tempat suami bekerja menanyakan perihal kesehatan suami saya kepada suami saya via video call WhatsApp, dan akhirnya sekolah pun mengetahui sendiri keadaan suami saya yang lebih parah karena terlihat jelas bahwa suami saya berbicara terengah-engah karena sesak napas dan suara yang hampir tidak terdengar. Setelah itu, sekolah pun memerintahkan saya untuk membawa kembali suami saya ke rumah sakit untuk di-rapid test kembali. Saat hasil keluar dari hasil rapid test yang suami saya lakukan pukul 9 pagi, harapan pun kembali pupus, karena hasil test suami masih menunjukkan positif Covid-19.
Mengenai hasil rapid testmya pun suami saya mengabarkan kepada sekolah tempat suami bekerja, dan akhirnya sekolah pun memutuskan untuk memberhentikan sementara sampai setengah tahun, dengan harapan agar suami saya dapat lebih fokus dengan kesehatannya dan saat setelah setengah tahun sudah berlalu, suami saya sudah sembuh dan sudah kebal terhadap Covid-19. Awalnya suami saya tidak setuju, karena beliau harus mencari nafkah, dan suami saya pun melobi sekolah untuk mengajar dan bekerja secara online dari rumah, tidak dari sekolah. Namun, sekolah menjelaskan bahwa keputusan sekolah tetap bulat, karena menginginkan agar suami saya fokus pada kesehatannya saja, dan sekolah berjanji akan memberikan bantuan per bulannya hanya 20% dari gaji biasanya tiga juta rupiah. Saya pun membujuk suami untuk mengiyakan perintah atasan di sekolah karena itu tujuannya baik untuk kesehatan suami saya, karena bagi saya suami saya lebih penting daripada sejumlah uang, dan akhirnya suami mau tidak mau menyetujui keputusan sekolah tempat beliau bekerja.